Pilikaminews - Hubungan antara orang tua dan anak, khususnya ketika anak memasuki usia remaja, mengalami perubahan yang signifikan. Remaja mulai mencari identitas diri mereka dan menginginkan kebebasan lebih, sementara orang tua dihadapkan pada tantangan untuk tetap membimbing tanpa bersikap terlalu mengekang. Dalam proses ini, pola asuh menjadi kunci penting dalam mendukung pertumbuhan emosional dan sosial anak.
Pihak utama yang terlibat dalam dinamika ini adalah orang tua dan anak remaja. Para ahli seperti Santrock, Montemayor, Erik Erikson, serta konselor profesional seperti Andrea Mathews juga memberikan pandangan dan landasan teoritis mengenai pentingnya hubungan yang sehat antara orang tua dan anak. Peneliti seperti Shute, Maud, dan McLachlan menyoroti dampak psikologis dari pola asuh yang tidak tepat.
Perubahan hubungan antara orang tua dan anak mulai terlihat ketika anak memasuki masa remaja, biasanya di usia 12 hingga 18 tahun. Masa ini merupakan periode kritis dalam pembentukan identitas dan arah hidup anak, sebagaimana diungkapkan oleh Erikson (dalam Santrock, 2013).
Fenomena ini terjadi dalam konteks rumah tangga, di mana interaksi antara orang tua dan anak berlangsung sehari-hari. Lingkungan sosial anak seperti sekolah dan pergaulan juga turut memengaruhi efektivitas pola asuh yang diterapkan di rumah.
Perubahan dinamika hubungan orang tua dan anak remaja sangat penting untuk dipahami karena jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu konflik, kesalahpahaman, dan bahkan gangguan emosional seperti kecemasan dan depresi. Anak yang dibesarkan dalam pola asuh yang tidak sehat juga berisiko mengalami kesulitan dalam membentuk relasi sosial dan pengendalian diri.
Penerapan pola asuh yang tepat menjadi solusi utama. Diana Baumrind membagi pola asuh menjadi empat tipe: otoriter, demokratis (authoritative), cuek (neglectful), dan permisif (indulgent).
-
Pola otoriter memberikan batasan tegas, namun berisiko membuat anak tertekan.
-
Pola demokratis dianggap paling seimbang karena orang tua memberikan batasan sekaligus dukungan emosional.
-
Pola cuek membuat anak mandiri, tapi berisiko tinggi terhadap kesulitan emosi dan sosial.
-
Pola permisif memberi anak kebebasan penuh, namun bisa membuat anak kurang bertanggung jawab.
Dalam praktiknya, orang tua harus bisa menyesuaikan pola asuh dengan situasi dan kebutuhan anak. Misalnya, saat anak gagal dalam ujian, orang tua demokratis akan mengapresiasi usaha anak dan membantu mencari solusi, sedangkan orang tua otoriter bisa saja langsung memberikan hukuman. Sebaliknya, orang tua cuek mungkin tidak memberikan perhatian, dan orang tua permisif membiarkan anak bertanggung jawab penuh atas kegagalannya.
Andrea Mathews juga menekankan pentingnya membangun batasan sehat antara anak dan orang tua, terutama jika orang tua memiliki latar belakang emosional yang belum terselesaikan. Tanpa batasan yang sehat, remaja bisa merasa bersalah atau takut menyakiti orang tua mereka, yang kemudian berdampak pada kondisi emosional mereka.
